Jumat, 14 Desember 2012

SEJARAH DINASTI UMAYYAH TIMUR ( DAMASKUS )

SEJARAH DINASTI UMAYYAH TIMUR ( DAMASKUS )


Dinasti Umayyah Timur yang dimaksudkan dalam makalah ini adalah yang didirikan oleh keturunan Umayyah atas rintisan Muawiyyah yang berpusat di Damaskus. Setting cikal bakal dinasti ini bermula ketika Ali bin Abi Thalib dibaiat sebagai khalifah menggantikan kedudukan khalifah Usman bin Affan, salah satu kebijakan awal dari Ali adalah pengambil alihan tanah-tanah dan kekayaan negara yang telah dibagi-bagikan oleh Usman kepada keluarganya dan memecat gubernur-gubernur dan pejabat pemerintahan yang diangkat Usman untuk meletakkan jabatannya, namun Muawiyyah gubernur Syiria menolak pemecatan itu sekaligus tidak mau membaiat Ali sebagai khalifah dan bahkan membentuk kelompok yang kuat dan menolak untuk memenuhi perintah-perintah Ali. Dia berusaha membalas kematian khalifah Usman, atau kalau tidak dia akan menyerang kedudukan khalifah bersama-sama dengan tentara Syiria. Desakan Muawiyyah akhirnya tertumpah dalam perang Shiffin.[1] Dalam pertempuran itu hampir-hampir pasukan Muawiyyah dikalahkan pasukan Ali, tapi berkat siasat penasehat Muawiyyah yaitu Amr bin ‘Ash , agar pasukannya mengangkat mushaf-mushaf Al Qur’an di ujung lembing mereka, pertanda seruan untuk damai. Bukan saja perang itu berakhir dengan Tahkim Shiffin yang tidak menguntungkan Ali, tapi akibat itu pula kubu Ali sendiri menjadi terpecah dua yaitu yang tetap setia kepada Ali disebut Syiah dan yang keluar disebut Khawarij. Sejak peristiwa itu, Ali tidak lagi menggerakkan pasukannya untuk menundukkan Muawiyyah tapi menggempur habis orang-orang Khawarij, yang terakhir terjadi peristiwa Nahrawan pada 09 Shafar 38 H, dimana dari 1800 orang Khawarij hanya 8 orang yang selamat jiwanya sehingga dari delapan orang itu menyebar ke Amman, Karman, Yaman, Sajisman dan ke Jazirah Arab.[2] Namun begitu, kaum Khawarij selalu berusaha untuk merebut massa Islam dari pengikut Ali, dan Muawiyyah , sebab mereka yakin bahwa kedua pemimpin itu merupakan sumber dari pergolakan-pergolakan, mereka bertekad membunuh kedua pemimpin itu, namun hanya Ali yang terbunuh pada 20 Ramadlan 40 H di Masjid Kuffah pada saat Ali Shalat Subuh.

Setelah Ali meninggal, rakyat segera membaiat Hasan bin Ali sebagai Khalifah. Karena melihat banyaknya perselisihan diantara sahabat-sahabatnya dan melihat pentingnya persahabatan umat, maka Hasan bin Ali melakukan kesepakatan damai dan menyerahkan kekuasaan pemerintahannya kepada Muawiyyah pada bulan Rabiul Awal 41 H yang selanjutnya tahun itu disebut Aam Jama’ah atau tahun jamaah, karena kaum Muslimin sepakat menjadikan satu orang khalifah untuk menjadi pimpinan mereka yaitu Muawiyyah dari Bani Umayah.[3]

Berangkat dari penyerahan kekuasaan Hasan bin Ali kepada Muawiyyah Bani Umayah tersebut, dalam makalah ini akan dibahas tentang kebangkitan pemerintahan Dinasti Umayyah Timur ( Damaskus ) sebagai penguasa baru. Mulai dari sejarah berdirinya, masa pemerintahannya dengan kemajuan yang dicapai terutama dinamika Politik, sosial dan ekonomi, intelektual dan keagamaan hingga dinasti ini mengalami keruntuhan.

B. Sejarah Berdirinya Dinasti Umayyah Timur ( Damaskus ).

Sebagaimana telah disinggung pada bagian pendahuluan, berdirinya Dinasti Umayyah ini adalah tekad Muawwiyah untuk menjadi khalifah, jauh setelah terbunuhnya Usman bin Affan namun terkendala oleh Ali sebagai khalifah keempat karena beliau masih ada. Namun wafatnya Ali adalah satu jembatan emas bagi Muawwiyah guna mewujudkan tekadnya. Semula ada upaya Hasan bin Ali untuk menuntut balas kematian ayahnya dan ditambah usulan dari kelompok masyarakat agar Hasan bin Ali menggantikan posisi ayahnya, akan tetapi Hasan menyangsikan kemampuan diri dan kekuatan yang dimilikinya sehingga akhirnya ia bersedia mengakui Muawiyyah sebagai khalifah dengan syarat : Muawiyyah tidak menaruh dendam terhadap penduduk Irak dan bersedia menjamin keamanan serta memaafkan kesalahan mereka, pajak tanah negeri Ahwaz diperuntukkan kepada Hasan dan diberikan tiap tahun, dan pemberian untuk Bani Hasyim harus lebih banyak dari pada Bani Abdi Syam. Keputusan-keputusan perjanjian perdamaian (tahkim) itu di setujui oleh Muawiyyah sehingga pada tahun 41H Muawiyyah memasuki kota Kuffah guna mengucapkan sumpah jabatan di hadapan dua putra Ali, yaitu Hasan dan Husein yang disaksikan oleh rakyat banyak. Dinasti ini ibukota pemerintahannya berada di Damaskus, yang sejak khalifah Usman, Muawiyyah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan menyiapkan daerah Syiria sebagai pusat kekuasannya di kemuadian hari.[4] Selama 91 tahun , dinasti ini diperintah beberapa orang khalifah, mereka itu adalah :

1. Muawiyyah bin Abu Sofyan 661 s/d 680

2. Yazid bin Muawiyyah 680 s/d 683

3. Muawiyyah bin Yazid 683 s/d 684

4. Marwan bin Hakam 684 s/d 685

5. Abdul Malik bin Marwan 685 s/d 705

6. Walid I bin Abdul Malik 705 s/d 715

7. Sulaiman bin Abdul Malik 715 s/d 717

8. Umar bin Abdul Aziz 717 s/d 720

9. Yazid bin Abdul Malik 720 s/d 724

10. Hisyam bin Abdul Malik 724 s/d 743

11. Walid II bin Yazid II 743 s/d 744

12. Yazid III 744

12. Ibrahim bin Walid II 744

13. Marwan II bin Muhammad II 744 s/d 750[5]

Diantara sekian banyak khalifah Dinasti Umayyah tersebut hanya beberapa khalifah yang menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang yaitu: Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hasyim bin Abdul Malik

Terbentuknya Dinasti Umayah Timur ini adalah berkat jasa Muawiyyah bin Abu Sofyan, sosok seorang politikus, tokoh militer, sahabat Nabi yang sempat dipercaya untuk menuliskan wahyu, dan pada pemerintahan khalifah Umar bin Khattab, dia dipercaya sebagai gubernur Syiria hampir selama 20 tahun dan pada khalifah Usman bin Affan diangkat juga sebagai Amir al Bahr (prince of the sea) yang menguasai daerah Syiria sampai ke Laut Tengah.[6] Track record ini sangat mendukung Muawiyyah mendapatkan hegemoni politik dari masyarakat Syiria untuk merancang dan meletakkan sendi dasar sebuah Dinasti Umayyah yang berbasis masyarakat rasional, sehingga solid dalam pembangunan politiknya dimasa depan.

Soliditas yang dibangun Muawiyyah untuk sebuah Dinasti ditopang oleh beberapa faktor yaitu: Pertama dukungan yang kuat dari masyarakat Syiria dan Bani Umayyah, disatu sisi masyarakat Syiria sudah terbentuk jiwa militansi dan sebagai tentara yang tangguh di bawah kepemimpinan Muawiyyah, dan Bani Umayah terkenal dengan kelompok bermodal, berkedudukan dan disegani masyarakat Arab di sisi yang lain, sehingga kedua variabel tersebut mendukung Muawiyyah untuk mendapatkan stimulasi dan insentif sebagai kekuatan yang memiliki akar kuat dalam bidang politik dan ekonomi di Syiria. Kedua sebagai seorang administrator, Muawiyyah dengan kebijakan politiknya dapat dengan mudah menempatkan pembantunya pada jabatan yang strategis, diantara mereka adalah: ‘Amar bin ‘Ash, Mughirah bin Syu’bah dan Ziyad bin Abihi. Ketiga tokoh ini mempunyai kemampuan dan reputasi politik yang dikagumi masyarakat Arab. Ketiga Muawiyyah memiliki kemampuan sebagai negarawan sejati.[7] Dari faktor itulah Dinasti Umayyah Timur kemudian menjadi Dinasti yang besar dan berpengaruh terutama di Jazirah Arab Khususnya dan dunia umumnya.

C. Kemajuan Yang Dicapai

Terbentuknya Dinasti Umayyah Timur merupakan gambaran awal bahwa umat Islam ketika itu telah kembali mendapatkan identitasnya sebagai negara yang berdaulat, juga merupakan fase ketiga kekuasaan Islam yang berlangsung selama lebih kurang satu abad (661 – 750 M). Perubahan yang dilakukan, tidak hanya sistem kekuasaan Islam dari masa sebelumnya (masa Nabi dan Khulafaurrasyidin) tapi juga perubahan-perubahan lain di bidang sosial politik, keagamaan, intelektual dan peradaban.[8]

1.Dinamika politik, sosial dan Ekonomi

Dalam awal perkembangannya, dinasti ini sangat kental diwarnai nuansa politiknya yaitu dengan memindahkan ibukota kekuasaan Islam dari Madinah ke Damaskus[9] Kebijakan itu dimaksudkan tidak hanya untuk kuatnya eksistensi dinasti yang telah mendapat legitimasi politik dari masyarakat Syiria, namun lebih dari itu adalah untuk pengamanan dalam negeri yang sering mendapat serangan-serangan dari rival politiknya.

Pemindahan sistem kekuasaan juga dilakukan Muawiyyah, sebagai bentuk pengingkaran demokrasi yang dibangun masa Nabi dan Khalifah yang empat, dari kekhalifahan yang berdasarkan pemilihan atau musyawarah menjadi kerajaan turun menurun (monarchi heridetis).[10] Penggantian khalifah secara turun temurun dimulai dari sikap Muawiyyah yang mengangkat anaknya, Yazid, sebagai putera mahkota. Sikap ini dipengaruhi oleh keadaan Syiria yang menjadi wilayah kekuasaan selama dia menjadi gubernur dan memang bermaksud mencontoh monarchi heridetis di Persia dan kekaisaran Bizantium.

Pada masa Nabi dan khalifah yang empat, keanggotaan masyarakat secara umum, dalam segala hal hanya dibatasi berdasarkan keagamaan, sehingga masyarakat secara garis besar terdiri muslim dan non muslim, dan dalam memperlakukan orang Islam sebagai mayoritas dapat dibedakan menurut dua kriteria, pertama yang menjurus kepada hal-hal yang praktis dan seringkali diterapkan pada kelompok, dan kreteria kedua berupa tindakan pengabdian kepada masyarakat yang sifatnya lebih personal. Sebagai tambahan atas kedua kriteria itu, pada Dinasti Umayyah syarat keanggotaan masyarakat harus berasal dari orang Arab, sedangkan orang non Arab setelah menjadi Muslim harus mau menjadi pendukung (mawali) bangsa Arab. Dengan demikian masyarakt muslim pada masa Dinasti Umayyah terdiri dari dua kelompok, yaitu Arab dan Mawali.[11]

Dengan tatanan masyarakat yang homogin tersebut, menimbulkan ambisi penguasa dinasti ini untuk mempersatukan masyarakat dengan politik Arabisme,[12] yaitu membangun bangsa Arab yang besar dan sekaligus menjadi kaum muslimin. Usaha-usaha ke arah itu antara lain mewajibkan untuk membuat akte kelahiran masyarakat Arab bagi anak-anak yang lahir di daerah-daerah penaklukan, kewajiban berbahasa Arab bagi penduduk daerah Islam dan bahkan adat istiadat serta sikap hidup mereka diharuskan menjadi Arab.[13]

Kebijakan politik Dinasti Umayyah lainnya adalah upaya-upaya perluasan wilayah kekuasaan. Pada zaman Muawiyyah, Uqbah bin Nafi’ berhasil menguasai Tunis yang kemudian didirikan kota Qairawan sebagai pusat kebudayaan Islam pada tahun 760 M. Di sebelah timur, Muawiyyah memperoleh daerah Khurasan sampai ke Lahore di Pakistan. Di sebelah barat dan utara diarahkan ke Bizantium dan dapat menundukkan Rhodes dan pulau-pulau lain di Yunani.Pada tahun 48 H, Muawiyyah merencanakan penyerangan laut dan darat terhadap Konstantinopel, tetapi gagal setelah kehilangan pasukan dan kapal perang mereka.[14]

Zaman Walid I, dengan dibantu tiga orang pimpinan pasukan terkemuka sebagai penakluk yaitu: Qutaybah bin Muslim, Muhammad bin al Qasim dan Musa bin Nashir, ekspansi ke barat dan ke timur mencapai keberhasilan. Ekspansi ke barat dilakukan oleh Musa bin Nashir, berhasil menundukkan Aljazair dan Maroko, kemudian ia mengangkat Tariq bin Ziyad sebagai wakilnya untuk memerintah di daerah itu dan melakukan perebutan kekuasaan dalam kerajaan Gotia Barat di Spanyol untuk ditaklukkan, akhirnya Toledo ibukota Spanyol jatuh ke tangan pasukan muslim menyusul kota Seville, Malaga, Elvira dan Cordova yang kemudian menjadi ibukota Spanyol Islam (al Andalus).[15]

Setelah menaklukkan Spanyol, Musa bin Nashir ambil bagian ke Spanyol dan melanjutkan ekspansinya dengan merampas Carmona, Cadiz di sebelah tenggara dan Calica di sebelah barat laut. Dia memutuskan untuk meneruskan ekspansinya ke sebelah selatan Perancis, namun ada kekhawatiran dari Walid I atas pengaruh Musa bin Nashir yang mungkin akan memproklamirkan seluruh negara yang ditaklukkan, maka Walid I memerintahkan untuk mengakhiri ekspansinya ke Eropa dan memanggil Musa dan Tariq ke Damaskus.[16]

Di masa Abdul Malik, Qutaybah diangkat oleh al Hajjaj bin Yusuf, gubernur Khurasan, menjadi wakilnya pada tahun 86 H.Bersama pasukannya, Qutaybah dapat menundukkan Balkh, Bukhara, Khawarizm, Farghana dan Masarkand. Usaha ekspansinya ke Cina diurungkan, karena delegasinya disuruh kembali kepada pemimpinnya dengan saling tukar menukar cenderamata, Qutaybah menerima uang dan mencetak materai dengan bantuan pemuda kerajaan kemudian menjelajahi kekuasannya dan pulang ke Merv, ibukota Khurasan.[17]

Muhammad bin Qasim dipercaya oleh al Hajjaj untuk menundukkan India.Pada tahun 89 H, ia menuju ke Sind dan mengepung pelabuhan Deibul di muara sungai Indus, kemudian tempat itu diberi nama Mihram. Ia memperluas penaklukannya hingga ke Maltan sebelah selatan Punjab dan Brahmanabat.[18]Peta kekuasaan dapat dilihat pada lampiran I dalam makalah ini.

Kemenangan-kemenangan yang diperoleh umat Islam secara luas itu, menjadikan orang-orang Arab bertempat tinggal di daerah penaklukan dan bahkan menjadi tuan-tuan tanah.[19] Kepada pemilik tanah diwajibkan oleh Dinasti Umayyah untuk membayar pajak tanah, namun pajak kepala hanya berlaku kepada penduduk non muslim sehingga mengakibatkan banyaknya penduduk yang masuk Islam, akibatnya secara ekonomis penghasilan negara berkurang, namun demikian dengan keberhasilan Dinasti Umayyah menaklukkan Imperium Persia beserta wilayah kepunyaan Imperium Byzantium, sesungguhnya kemakmuran bagi Dinasti ini melimpah ruah yang mengalir untuk kas negara.[20] Kebijakan Dinasti di bidang ekonomi lainnya adalah menjamin keadaan aman untuk lalu lintas darat dan laut, lalu lintas darat melalui jalan Sutera ke Tiongkok guna memperlancar perdagangan sutera, keramik, obat-obatan dan wewangian, sedangkan lalu lintas laut ke arah negeri-negeri belahan timur untuk mencari rempah-rempah, bumbu, kasturi, permata, logam mulia, gading dan bulu-buluan.[21]Keadaan demikian membuat kota Basrah dan Aden di teluk Persi menjadi lalu lintas perdagangan dan pelabuhan dagang yang ramai, karena kapal-kapal dagang dibawah lindungan armada Islam yang menuju ke Syiria dan Mesir hampir tak pernah putus. Perkembangan perdagangan ini telah mendorong meningkatnya kemakmuran Dinasti Umayyah.

Pada masa khalifah Abdul Malik, telah dirintis industri kerajinan tangan berupa tiraz (semacam bordiran) yakni cap resmi yang dicetak pada pakaian khalifah dan para pembesar pemerintahan, format tiraz bertuliskan lafaz“La Ilaaha Illa Allah“.Guna memperlancar produktifitas pakaian resmi kerajaan, maka Abdul Malik mendirikan pabrik-pabrik kain, dan setiap pabrik diawasi oleh Sahib at Tiraz yang bertujuan mengawasi tukang emas dan penjahit, menyelidiki hasil karya dan membayar gaji mereka.[22]

Dibidang pemerintahan, dinasti membentuk semacam Dewan Sekretaris Negara (Diwan al Kitabah) yang terdiri dari lima orang sekretaris yaitu : Katib ar Rasail, Katib al Kharraj, Katib al Jund, Katib asy Syurtah dan katib al Qadi.[23]Untuk mengurusi administrasi pemerintahan daerah, di angkat seorang Amir al Umara (Gubernur Jenderal)yang membawahi beberapa amir sebagai penguasa satu wilayah.

Pada masa Abdul Malik bin Marwan, jalannya pemerintahan ditentukan oleh empat departemen pokok (diwan) yaitu :
Kementerian Pajak Tanah (diwan al kharraj) yang bertugas mengawasi departemen keuangan
Kementerian Khatam (diwan al khatam) yang bertugas merancang dan mengesahkan peraturan/ordonansi pemerintah
Kementerian surat menyurat (diwan al rasail) dipercaya untuk mengontrol permasalahan di daerah-daerah dan semua komunikasi dari gubernur-gubernur
Kementerian urusan perpajakan (diwan al mustagallat).[24]



2. Intelektual dan Keagamaan

Di zaman pemerintahan Abdul Malik terdapat banyak bahasa yang digunakan dalam administrasi, seperti bahasa Persia, Yunani dan Qibti, namun atas usaha Salih bin Abdur Rahman, sekretaris al Hajjaj, ia mencoba menjadikan bahasa Arab sebagai bahasa administrasi dan bahasa resmi di seluruh negeri sehingga perhatian dan upaya penyempurnaan pengetahuan tentang bahasa Arab mendorong lahirnya ahli bahasa yaitu Sibawaihi dengan karya tulisnya al Kitab menjadi pegangan dalam soal tata bahasa Arab.

Dalam daerah kekuasaannya terdapat kota-kota pusat kebudayaan yaitu Yunani Iskandariyah, Antiokia, Harran dan Yunde Sahpur yang semula dikembangkan oleh ilmuwan-ilmuwan Yahudi, Nasrani dan Zoroaster[25] Khalifah Khalid bin Yazid bin Muawiyyah yang seorang orator dan berpikiran tajam berupaya menerjemahkan buku-buku tentang astronomi, kedokteran dan kimia.

Khalifah Walid bin Abdul Malik memberikan perhatian kepada bimaristan, yaitu rumah sakit sebagai tempat berobat , perawatan orang sakit dan studi kedokteran yang berada di Damaskus, sedangkan khalifah Umar bin Abdul Aziz menyuruh para ulama secara resmi untuk membukukan hadits-hadits Nabi, dan selain itu ia bersahabat dengan Ibn Abjar, seorang dokter dari Iskandariah yang kemudian menjadi dokter pribadinya.[26]

Para ilmuwan yang berasal dari agama lain, meski ada yang beralih agama kepada Islam dan ada yang masih tetap bertahan dalam agamanya, diantaranya Yahya al Diamsyqi seorang pejabat di masa Abdul Malik bin Marwan, penganut Kristen fanatik yang berusaha mempertahankan akidahnya. Dengan metode logikanya ia mempertahankan “al masih sebagai Tuhan yang ke dua”.[27]Dari sikap mereka mendorong umat Islam menyelidiki keyakinannya dan mempelajari logika untuk mempertahankan Islam sekaligus untuk mematahkan hujjah mereka, kelompok ini kemudian dianggap sebagai golongan rasionalis atau kelompok Mu’tazilah.[28]

Pengaruh lain dari ilmuwan kristen itu adalah penyusunan ilmu pengetahuan secara sistematis, selain itu berubah pula sistem hafalan dalam pengajaran kepada sistem tulisan menurut aturan–aturan ilmu pengetahuan yang berlaku. Pendukung dalam pengembangan ilmu adalah golongan non Arab dan telaahnya pun sudah meluas sehingga ada spesialisasi ilmu menjadi : ilmu pengatahuan bidang agama, bidang sejarah, bidang bahasa dan bidang filsafat.[29] Ilmuwan itu antara lain Sibawaihi, al Farisi, al Zujaj (ahli nahwu), al Zuhry, Abu Zubair, Muhammad bin Muslim bin Idris dan Bukhari Muslim (ahli Hadits) dan Mujahid bin Jabbar (ahli tafsir).


D. Kemunduran dan Kehancuran Dinasti Umayyah Timur

Dinasti yang didirikan oleh Muawiyyah bin Abu Sofyan ini, dari beberapa khalifah yang memegang kekuasaan, hanya beberapa orang saja yang dianggap berhasil dalam menjalankan roda pemerintahannya antara lain : Muawiyyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, al Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz dan Hisyam bin Abdul Malik, selain mereka itu merupakan khalifah yang lemah. Dinasti ini mencapai puncaknya pada masa al Walid I bin Abdul Malik dan kemudian akhirnya menurun dan kekuasaan mereka direbut oleh Bani Abbasiyah pada tahun 750 M.[30]

Diantara faktor penyebab keruntuhan Dinasti Umayyah ini, menurut Hasan Ibrahim Hasan adalah :

1.Pengangkatan Dua Putera Mahkota

Perubahan sistem kekuasaan, dari sistem demokrasi kepada monarchi yang dirintis Muawiyyah bin Abu Sofyan , berakibat pada tumbuhnya bibit permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga dinasti dan ditambah dengan langkah pengangkatan dua putera mahkota yang diberi mandat agar putera mahkota yang kedua sebagai pelanjut sesudah yang pertama, hal itu dilakukan khalifah Marwan bin al Hakim dengan mengangkat Abdul Malik bin Marwan dan Abdul Aziz, berikutnya adalah Abdul Malik mengikuti jejak mendiang ayahnya dengan mengangkat puteranya, yatu al Walid dan Sulaiman. Langkah ini tidak hanya menjadi permusuhan dan persaingan diantara sesama anggota keluarga tetapi juga merembet masuk di lingkungan para panglima dan pejabat.[31]

2. Munculnya Fanatisme Suku

Setelah Yazid bin Muawiyyah meninggal, fanatisme suku menyebar di tengah-tengah kabilah Arab namun belum sampai membahayakan kekuatan Bani Umayyah dari rongrongan kekuatan lain yang menginginkan kehancurannya sebagai pemegang supremasi politik umat Islam.

Kondisi tersebut masih dapat dikendalikan terlebih dengan tampilnya Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah , ia seorang yang saleh dan adil. Dalam masa pemerintahannya diisi dengan memperbaiki kerusakan yang dilakukan oleh para khalifah Bani Umayyah sebelumnya, sehingga legalitas kepemimpinannya diakui dan diterima oleh semua pihak yang tidak mengakui pemerintahan Bani Umayyah.Ia terbebas dari fanatisme suku, karena ia tidak mengangkat seorang menjadi gubernur melainkan berdasarkan kecakapan dan keadilan yang dimiliki oleh yang bersangkutan.[32]

Namun ketika Umar bin Abdul Aziz wafat, dan kekhalifahan dipegang Yazid bin Abdul Malik, saat itu fitnah dan perselisihan diantara bangsa Arab utara (Arab Mudhar) /suku Qais dengan Arab selatan (Arab Yaman) /bani Kalb memanas, yang kemudian terjadi perang Murj Rahith,[33] yang mengkibatkan terbunuhnya al Mulahhab bin Abu Shufrah dari Arab Yaman, ia seorang yang telah mengabdi seluruh hidup dan potensinya pada Bani Umayyah, yaitu pembelaannya dalam perang al Azariqah menghadapi kaum khawarij, berjuang memerangi penduduk Khurasan dan al Khazar serta orang-orang Turki. Sepeninggal al Mulahhab, tampillah puteranya yang menjadi perhatian dan tumpuhan pihak Arab Yamani untuk merongrong kedaulatan Dinasti Umayyah Timur. Namun demikian Bani Umayyah sekali waktu berpihak kepada Arab Qais dan dilain waktu kepada Arab Yaman.

Fanatisme suku dapat dilihat ketika Yazid bin Abdul Malik mengangkat saudaranya yaitu Maslamah sebagai gubernur wilayah timur setelah mereka berjasa menumbangkan pemberontakan putera al Mulahhab, dan juga mengangkat Umar bin Hubairah yang berasal dari suku Qais.

Ketika Yazid wafat dan saudaranya yaitu Hisyam naik tahta maka khalifah baru menilai bahwa posisi orang-orang Qais dalam pemerintahan sudah terlalu kuat, dan hal ini, menurut Hisyam adalah membahayakan kelangsungan pemerintahan Bani Umayyah, kemudian ia mengambil tindakan dengan cara mengenyahkan orang-orang Qais dari kekuasaan dan balik berpihak kepada unsur Yamani, ini dimaksudkan agar kedua unsur tersebut berimbang.[34]Untuk itu ia mengangkat Khalid bin Abdullah al Qasari sebagai gubernur Irak, dan juga mengangkat saudara Khalid yaitu Asad sebagai gubernur Khurasan. Dengan demikian kekuatan unsur Yamani kembali berperan dan kekuatan unsur Qaisi melemah, kemudian orang-orang dari unsur Yamani berkesempatan menumpahkan balas dendam mereka kepada orang-orang dari unsur Qaisi.

Demikianlah fanatisme suku yang telah mencabik-cabik Dinasti Umayyah, sehingga negara menjadi ajang bagi tumbuhnya beragam fitnah dan kerusuhan dan kemudian keruntuhan dinasti ini terjadi.

3.Terlena Dalam Kemewahan

Pola hidup sebagian khalifah Dinasti Umayyah yang sangat mewah dan senang berfoya-foya sebagai warisan pola hidup para penguasa Bizantium adalah faktor lain yang telah menanam andil besar bagi keruntuhan dinasti ini. Yazid bin Muawiyyah adalah seorang khalifah dari Dinasti Umayyah sangat terkenal sebagai pengagum berat wanita, memelihara para penyanyi wanita, memelihara burung buas, singa padang pasir dan seorang pecandu minuman keras.[35]

Prilaku Yazid bin Abdul Malik juga tidak lebih baik dari Yazid bin Muawiyyah, ia adalah pemuja wanita dan penggemar pesta pora. Begitu pula dengan puteranya yaitu al Walid, ia seorang khalifah yang sangat senang dengan kehidupan serba mewah dan terlena dengan romantika asmara.[36]

4. Fanatik Arab

Dinasti Umayyah adalah murni daulat Arab, sehingga ia sangat fanatik kepada bangsa Arab dan kearabannya. Mereka memandang orang non Arab ( mawali) dengan pandangan sebelah mata, sehingga menimbulkan fitnah diantara sesama kum Muslimin, disamping itu pula telah membangkitkan nasionalisme di dalam Islam.Bibit daripada geraka tersebut adalah anggapan bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang paling utama dan mulia dan bahasa Arab adalah bahasa yang paling tingga dibanding dengan yang lain.

Tindakan diskriminatif tersebut telah membangkitkan kebencian kaum mawali kepada Bani Umayyah, akhirnya sebagai kaum tertindas mereka selalu mencari waktu yang tepat untuk melampiaskan kebenciannya. Mereka menggabungkan diri dengan al Mukhtar dan kaum khawarij untuk bersekutu dan ditambah dengan propagandis kaum abassi untuk memberontak dan menggulingkan Dinasti Umayyah.[37]

Sekutu tersebut melakukan gerakan oposisi terhadap Dinasti Umayyah dengan pimpinan Muhammad bin Ali dan kemudian dilanjutkan kedua puteranya yaitu ibrahim dan Abu Abbas yang didukung oleh masyarakat pendukung Ali di Khurasan. Di bawah pimpinan panglimanya yang tangkas, yaitu Abu Muslim al Khurasani, gerakan ini dapat menguasai wilayah demi wilayah kekuasaan Dinasti Umayyah dan bahkan dalam pertempuran di Zab Hulu sebelah timur Mosul, Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayah dapat dikalahkan, Marwan II di bunuh di Mesir pada bulan Agustus 750 M dan berakhirlah kekuasaan Dinasti Umayyah di Damaskus.

Selasa, 11 Desember 2012

Seminar Nasional dan Sosialisasi Membangun Budaya Digital di Perguruan Tinggi

Seminar Nasional dan Sosialisasi Membangun Budaya Digital di Perguruan Tinggi

Rabu, 05 Desember 2012 14:03 WIB


Prof. Dr. Musa Asyarie membuka seminar dengan Gong Digital

(4/12/2012) Pusat Komputer dan Sistem Informatika (PKSI) UIN Sunan Kalijaga adakan Seminar nasional dengan tema "Digital Lifestyle Experience for Higher Education". Acara  ini diadakan digedung Convention Hall dan dihadiri oleh mahasiswa, dosen, karyawan dan masyarakat umum. Seminar ini dibuka langsung oleh Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Dr. H. Musa Asy'arie dengan Gong Digital. Menurut Ketua PKSI, Agung Fatmanto, Ph.D., kegiatan ini diadakan sebagai komitmen UIN Sunan Kalijaga dalam mewudkan kampus digital dan sebagai upaya membangun budaya  digital di perguruan tinggi. “ Di era globalisassi saat ini, perguruan tinggi harus memaksimalkan pengunaan tekhnologi digital, mengingat perkembangan arus informasi yang begitu pesatnya, hal ini sebagai imbas dari kemajuan dunia digital yang terjadi saat ini. Penerapan teknologi digital juga harus dibarengi dengan peningkatan pengetahuan teknologi komputerisasi bagi seluruh civitas kampus, baik dosen, pegawai dan mahasiswanya, agar menjadi sinergisitas”, tutur Agung Fatmanto yang juga dosen pada Fakultas Sains dan Teknologi. Dalam seminar ini menghadirkan Ryan Fabella (Client Software Architec IBM), Pepita Gunawan (Indonesian Google Southeast Asia dan Agung Fatmanto, Ph.D. sebagai pembicara.
Dalam sambutannya Musa Asyarie menyampaikan bahwa, UIN Sunan Kalijaga akan senantiasa mengembangkan kampus menuju kampus digital, karena, dengan penerapan teknologi digital, semua akses informasi akan menjadi mudah. Perkembangan teknologi yang begitu pesat seharusnya kita manfaatkan dan direspons secara positif, jangan sampe dengan perkembangan itu kita malah menjadi keblinger. “ Saat ini kita sudah dikuasai oleh dunia ‘kotak’, karena sebagian besar alat teknologi yang kita gunakan berbentuk kotak, PC, Monitor, PC Tablet, HP, Laptop semuanya berbentuk kotak. Melihat hal ini, kita jangan sampai dikotak-kotakkan oleh barang ‘kotak’ ini. Karena dengan barang ‘kotak’ ini individualisme akan semakin meningkat, untuk itu filter dalam penggunaan teknologi di era digital ini sangat penting”, tutur Musa.
“ Dalam acara ini juga dihadiri oleh delegasi PTAIN se-Indonesia dan delegasi pusat komputer Perguruan Tinggi dan civitas Mahasiswa se-DIY ”, tambah Agung. *(Doni Tri W-Humas UIN Suka)
 

Minggu, 09 Desember 2012

khulafaur rasyidin


Munculnya pemerintahan khulafaur rasyidin
            Setelah meninggalnya Nabi Muhammad  SAW  mengalami krisis kepemimpinan karena nabi tidak menunjuk siapa pengganti dari beliau untuk melanjutkan kepemimpinanya  dan pasti di butuhkan pemimpin maka dari  itu para masyarakat menerapkan sistem yang di ajarkan nabi yaitu bermusyawarah untuk menentukan siapa pengganti dari nabi muhammad yang kepemimpinan itu di namakan khulafa’ al-rasyidin  Khalifah adalah bentuk tunggal, bentuk jamaknya adalah khulafa’ yang artinya pengganti sedangkan al-Rasydyn dalam bahasa Indonesai berarti benar, pintar, atau lurus jadi Khulafaur Rasyidin  bisa diartikan : penggganti Rasul yang benar dan lurus, dan diterima oleh seluruh umat adapun khalifah yg termasuk khulafaurrsyidin adalah
1 Abu Bakar As-shiddiq
2  Umar Bin Khattab
3 Usman Bin Affan
4 Ali Bin Abi Thallib
            Imam Ahmad berkata, kepada kami,hammad bin salamah berkata kepada kami,said bin jamhan dari safinah berkata,saya pernah mendengar rasulullah bersabda
 الخلا فت ثلا ثو ن عا ما ثم يكو ن بعد ذ لك ا لملك
“ masa khilafah itu akan berlangsung selama tiga puluh tahun,setelah itu akan monarki.” ( Hadist ini diriwayatkan oleh para penyusun kitab sunan,serta dinyatakan shahih oleh ibbnu hibban dan yang lainya )[1]
Sistem pergantian khalifah
            pergantian khalifah  dilakukan setelah meninggalnya pemimpin, baru di gantikan oleh pemimpin yang telah di pilih dengan cara bermusyawarah. khalifah pertama terpilih adalah khalifah Abu bakar as-shiddiq pemilihanya adalah dengan cara musyawarah yang di laksanakan di muktamar tsaqifah bani sa’idah  pada saat musyawarah kaum anshar mengajukan Sa’ad ibn ubadah dan kaum muhajirin mengajukan Abu ubaidah ibn jarrah dan dari ahlu bait mengajukan Ali bin abi thalib dalam permusyawaratn ini hampir terjadi perpecahan adu fisik dan akhirnya melalui permusyawaratan dan berdebat ber adu argumentasi terpilihlah abu bakar menjadi khalifah yang pertama di teruskan khalifah yang kedua adalah umar bin khattab terpilihnya umar yaitu dengan cara musyawarah yang di lakukan khalifah abu bakar pada saat sakit keras beliau menunjuk umar menggantikan ke khalifahanya dan di tunjuknya itu berdasarkan musyawarah dan persetujuan antara abu bakar dan para pemuka masyarakat adapun khalifah yang ketiga adalah khalifah ustman bin affan menjelang ajalnya khalifah umar bin khattab karena di bunuh beliau menunjuk enam orang sebagai calon yang menggantikanya Sahabat tersebut Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdur Ramhan bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqash mereka itulah yang bermusyawarah menentukan siapa yang patut menggantikan umar dan mereka menambahkan putra dari khalifah umar untuk mengikuti musyawarah yaitu abdullah bin umar dan akhirya terputuskan dengan pemilihan suara yang memilih alibin abi thallib ada tiga dan suara yang di dapatkan ustman berjumlah empat sehingga terputuskan bahwa khalifah yang ketiga adalah ustman bin affan setelah ustman meninggal karena di bunuh oleh pemberontak situasi kepemerintahan sangat kacau sehingga para masyarakat memilih dengan cepat pengganti dari ustman suoaya tidak lama ke kacauanya atas pemberontak sehinga masyarakat menunjuk dan mem ba’iat ali bin abi thalib menjadi khalifah yang terakhir
kebijakan-kebijakan pemerintahan
A. Abu Bakar as-shidiq
            Langkah yang di lakukan khalifah abu bakar adalah
  1.  perbaikan sosial ( masyarakat )
            Yang di maksud perbaikan sosial ialah usaha menciptakan stabilitas wilayah islam,mengamankan tanah arab dari gangguan gangguan:
a. golongan orang-orang murtad. Adanya orang murtad di sebabkan karena mereka belum memahami benar tentang islam, mereka baru dalam taraf pengakuan.
 b. golongan yang tidak mau bayar zakat golongan ini menganggap bahwa zakat itu hanya pada masa Nabi Muhammad masih hidup dan setelah Nabi wafat,maka tidak ada kewajiban lagi untuk mbayar zakat.
c.golongan yang mengaku Nabi. Golongan ini mengaku sebagai nabi sebenarnya sudah ada pada hari-hari terakhir kehidupan Nabi Muhammad. Walaupun mereka masih sembunyi-sembunyi, dan setelah Nabi wafat mereka makin berani menyatakanya.
Diantara mereka adalah :
a. musailimah Al-kadzab dari bani hanifah.
b. thulailah bin khuwailid dari bani As’ad
c. saj’ah Tamimiyah dari bani tamin
d. Aswad Al-Unsi dari yaman

2.         pengumpulan Al-qur’an
            Setelah selesai dan berhasil menumpas golongan perusuh, khalifah Abu bakar melakukan pengumpulan ayat ayat al-qur’an ini atas anjuran sahabat umar bin khattab
3.         perluasan dan penyebaran agama islam
B.  Umar Bin khatab
     Langkah-langkah yang dilakukan oleh khalifah umar bin khatab
Ø  Penentu Kalender Hijriah dan Pengumpul Al-Quran
Ø  Meluaskan Wilayah Kekuasaan Pemerintah Islam(Syria,Mesir,Al-qadisiyah)
Ø  Membangun Sitem Pemerintah dengan membagi wilayah kekuasaan islam menjadi delapan provinsi,yakni mekah,madinah,syiria,jazirah,basrah,kufah,palestina dan mesir.dengan dibaginya wilayah kekuasaan maka sistem pemerintahan berjalan sangat stabil dan aman.
Ø  Mendirikan baitulmal dengan adanya pembayaran zakat,pajak,dan hasil,rampasan perang.uang baitulmal digunakan untuk membiayai kegiatan pemerintah dan menandai kehidupan orang-orang miskin dan yatim piatu.
C. Utsman bin Affan
      Langkah-langkah yang dilakukan oleh khalifah utsman bin affan
Ø  Melakukan perluasaan wilayah kekuasaan
(menalukan daerah Arjan dan persia,serta khurasan dan Nashabur di iran)
Ø  Melakukan Penulisan Mushaf Alquran
Pada masa kepemimpinan,khalifah utsman bin affan membentuk panitia pembukuan mushaf yang dipimpin oleh zaid bin tsabit.kemudian kitab al-quran hasil penulisan pada masa khalifah utsman bin affan diberi nama mushaf bin affan.
D. Ali bin abi thalib
     Langkah-langkah yang dilakukan oleh khalifah ali bin abi thalib
Ø  Membasmi Pembangkang kekhalifah
Setelah dibait menjadi khalifah,ali bin abi thalib memulai pemerintahanya dalam suasana yang kurang kondusif.pejabat-pejabat pada masa pemerintah khalifah utsman bin affan banyak membangkang pada pemerintah khalifah ali bin abi thalib,karena sebagian besar mereka masih kerabat khalifah utsman bin affan.akhirnya,timbul pembangkang pada masa kekhalifahannya.

Ø  Memecat Gubernur yang diangkat khalifah sebelumnya
Masa kekhalifah Utsman bin affan telah terjadi nepotisme. Tidak sedikit pejabat yang terdiri dari saudara-saudara khalifah utsman bin affan sendiri. Selain itu,ada sebagian baitulmal yang tidak dibagikan kepada kaum muslimin secara tidak adil melainkan dibagi-bagikan kepada saudara-saudara Khalifah Utsman bin Affan. Oleh karena pengangkatan jabatan pemerintah sebelumnya dipandang tidak banyak memberikan masukan pada kaum muslimin, maka Khalifah Ali bin Abi Thalib memecat pejabat atau gubernur yang diangkat oleh khalifah sebelumnya.

Perluasan Wilayah
Selama kepemimpinan abu bakar telah berhasil menaklukan persia dan romawi,kemudian khalifah memerintahkan para jendral islam untuk melawan kekaisaran byzantium dan kekaisaran sassanid..pada tahun 634 M, khalifah Abu bakar mengirimkan bala tentara yang dipimpin oleh khalid bin walid dan mutsanna bin haritsah.akhirnya,umat islam berhasil menguasai wilayah al-hijrah di irak. 



[1] Imam as-suyuthi, Tarikh Khulafa’ ,Terj. Samson Rahman ( Jakarta timur: Pustaka Al-kautsar,2001), hlm. 9

Selasa, 04 Desember 2012

SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN DINASTI UMAYYAH

 SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN  DINASTI UMAYYAH
Oleh: Ceceng Salamudin
  1. A.  Pendahuluan
Aku tidak akan menggunakan pedang ketika cukup mengunakan cambuk, dan tidak akan mengunakan cambuk jika cukup dengan lisan. Sekiranya ada ikatan setipis rambut sekalipun antara aku dan sahabatku, maka aku tidak akan membiarkannya lepas. Saat mereka menariknya dengan keras, aku akan melonggarkannya, dan ketika mereka mengendorkannya, aku akan menariknya dengan keras. (Muawiyah ibn Abi Sufyan)[1]
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya.[2] Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan.[3] Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini menjadi kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini, Muhammad menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti, sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkah tahun 10 H.
Kekalahan telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh keturunan Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
  1. B.    Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740)
Muawiyah ibn Abi Sufyan, yang pada waktu terbunuhnya Utsman ibn Affan, masih menjabat sebagai gubernur Suriah, menolak membait Ali ibn Abi Tholib sebagai khalifah keempat Khulafaur Rasyidin. Ia malah menuntut Ali untuk bertanggung jawab atas kematian khalifah ketiga itu.[4]. Bahkan ia menyatakan memisahkan diri dari pemerintahan Ali dan dibaiat oleh pengikutnya sebagai khalifah pada tahun 40 H/660 M di Iliya (Yerusalem)[5]. Pembaitan ini menjadi cikal bakal berdirinya dinasti Umayyah dan kelompok Muawiyah ini menjadi bughot pertama dalam sejarah Islam yang memisahakan diri dari pemerintahan islam yang sah. Mereka mendirikan negara di dalam Negara; dengan menjadikan Damaskus menjadi ibu kota pemerintahan islam. Padahal pusat pemerintahan yang sah adalah kufah di bawah kepemimpinan Ali.
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[6] dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[7]
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”[8]
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
  1. C.  Khalifah-Khalifah[9]Dinasti Umayyah
Ada 14 khalifah dinasti Umayyah. Keempat belas khalifah ini berasal dari dua keluarga, yaitu keluarga Abu Sufyan dan Al-Hakam. Kedua-duanya cucu Umayyah bin Abd Syams. Keluarga Abu Sufyan diwakili oleh Muawiyah I, Yazid I, dan Muawiyah II. Keluarga al-Hakam diwakili oleh Marwan I, Abdul Malik, Walid I, Sulaiman, Umar, Yazid II, Hisyam, Walid II, Yazid III, Ibrahim, dan Marwan II. Hubungan geneologis dinasti Umayyah digambarkan dalam pohon silsilah berikut ini.