SEJARAH PENDIRIAN DAN PERKEMBANGAN DINASTI UMAYYAH
Oleh: Ceceng Salamudin
- A. Pendahuluan
Pernyataan di atas cukup mewakili sosok Muawiyah ibn Abi Sufyan. Ia cerdas dan cerdik. Ia seorang politisi ulung dan seorang negarawan yang mampu membangun peradaban besar melalui politik kekuasaannya. Ia pendiri sebuah dinasti besar yang mampu bertahan selama hampir satu abad. Dia lah pendiri Dinasti Umayyah, seorang pemimpin yang paling berpengaruh pada abad ke 7 H.
Di tangannya, seni berpolitik mengalami kemajuan luar biasa melebihi tokoh-tokoh muslim lainnya.[2] Baginya, politik adalah senjata maha dahsyat untuk mencapai ambisi kekuasaaanya. Ia wujudkan seni berpolitiknya dengan membangun Dinasti Umayyah.
Dinasti ini dinisbatkan kepada Umayyah ibn Abd al-Syams ibn Abd al-Manaf, nenek moyang Muawiyah ibn Abu Sufyan. Pendirian dinasti ini mempunyai akar sejarah yang cukup panjang. Salah satunya dendam yang berurat akar dalam diri Umayyah dan keturunannya kepada kelompok Bani Hasyim, nenek moyang Nabi Muhammad.
Umayyah ibn Abd Syams adalah musuh politik Hasyim ibn Abdul Manaf. Keduanya masih keturunan Quraisy. Kedua kubu sering bertarung memperebutkan kedudukan dan kehormatan.[3] Pertarungan mereka berujung pada pertarungan ideologi agama, khususunya ketika Allah memilih salah satu keturunan Hasyim, yaitu Muhammad menjadi Nabi. Mayoritas keturunan Umayyah berada di sebrang kekufuran dan menjadi penentang utama Muhammad, sementara mayoritas keturunan Hasyim berada di sebrang keimanan dan menjadi pendukung utama Muhammad.
Keputusan Allah untuk memilih salah satu keturunan Hasyim menjadi Nabi ini menjadi kekalahan telak bagi Bani Umayyah, karena dengan misi agama baru ini, Muhammad menjadi penguasa jazirah Arab yang paling dihormati sekaligus ditakuti, sementara keturunan Bani Umayyah, yang diwakili oleh keluarga Abu Sufyan menjadi kelompok yang hina, bahkan secara terpaksa dan dalam kondisi terdesak, mereka harus mengikuti agama Muhammad, yaitu masuk islam pada waktu peristiwa Futuh al-Makkah tahun 10 H.
Kekalahan telak ini menjadi kenangan pahit yang tidak bisa dilupakan oleh keturunan Umayyah, sehingga di kemudian hari, salah satu penerusnya, yaitu Muawiyah melakukan berbagai cara untuk membangun kekuasaan yang lebih besar dibanding apa yang telah dilakukan Muhammad.
Muawiyah berhasil membangun pemerintahan melebihi apa yang telah di bangun oleh saudaranya, Muhammad. Dengan mencontoh model pemerintahan Persia dan Bizantium, dinastinya mampu memperluas kekuasaan islam yang tidak bisa dilakukan oleh pemimpin islam sebelum dan sesudahnya. Khalifah-khalifah besar ini seperti Muawiyah I, Abd al-Malik, al-Walid I, dan Umar ibn Abdul Aziz melakukan revolusi pemerintahan yang melahirkan peradaban islam yang luar biasa.
Namun, sehebat-hebatnya sebuah kekuasaan politik, pada akhirnya akan mengalami kemunduran atau kehancuran. Kehebatan Dinasti Umayyah hanya bisa dirasakan sampai khalifah Umar ibn Abul Aziz. Setelah pemerintahannya, kekuasaan Dinasti Umayyah semakin surut dan kemudian hancur pada masa raja terakhir, Marwan II, setelah direbut oleh para pemegang bendera hitam, yaitu koalisi antara bani Abbasiyah, Syiah, dan kelompok Khurasan. Maka berkakhirlah masa pemerintahan Dinasti Umayyah jilid I. Kelak salah satu keluarga Dinasti Umayyah yang lolos dari pengejaran kelompok Bani Abbasiyah akan mendirikan Dinasti Umayyah jilid II.
- B. Kelahiran Dinasti Umayyah (41 H – 132 H/661-740)
Setelah kematian Ali pada bulan Ramadhan tahun 40 H/661 M, putra tertua Ali yang bernama al-Hasan diangkat menjadi pengganti Ali. Namun al-Hasan sosok yang jujur dan lemah secara politik. Ia sama sekali tidak ambisius untuk menjadi pemimpin negara. Ia lebih memilih mementingkan persatuan umat. Oleh karena itu, ia melakukan kesepakatan damai[6] dengan kelompok Muawiyah dan menyerahkan kekuasaannya kepada Muawiyah pada bulan Rabiul Awwal tahun 41 H/661. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah disebut Aam Jama’ah karena kaum muslimn sepakat untuk memilih satu pemimpin saja, yaitu Muawiyah ibn Abu Sufyan.[7]
Setelah kesepakatan damai ini, Muawiyah mengirmkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”[8]
Itulah salah satu kehebatan Muawiyah dalam berdiplomasi. Tutur katanya begitu halus, hegemonik dan seolah-olah bijak. Surat ini salah satu bentuk diplomasinya untuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya.
Penyerahan kekuasaan pemerintahan Islam dari Hasan ke Muawiyah ini menjadi tonggak formal berdirinya kelahiran Dinasti Umayyah di bawah pimpinan khalifah pertama, Muawiyah ibn Abu Sufyan.
- C. Khalifah-Khalifah[9]Dinasti Umayyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar